Sabtu, 28 Juli 2018

Paguyuban Remaja Sebaya Sadar Sehat menuju Remaja Tajurhalang yang Sehat, Bugar dan Produktif


Remaja merupakan generasi penerus yang akan melanjutkan pembangunan bangsa di masa depan. Masa Remaja merupakan masa yang sangat berharga bila mereka berada dalam kondisi fisik dan psikis yang sehat, serta pendidikan yang baik. Oleh karena itu selain pendidikan, kesehatan remaja juga sangat penting untuk diperhatikan. Remaja yang sehat akan menciptakan keturunan yangs sehat di masa yang akan datang.

Remaja menurut UU Perlindungan Anak adalah seseorang yang berusia antara 10 sampai dengan18 tahun. Jumlah remaja di Indonesia cukup besar dengan jumlah 20% dari jumlah penduduk. Pada masa remaja ini terjadi growth spurt atau pertumbuhan cepat yang ditandai dengan pertumbuhan fisik yang cepat dan disertai perkembangan mental, kognitif, psikis. Remaja juga mengalami masa pubertas, yaitu proses tumbuh kembang reproduksi yang mengatur fungsi seksualitas. Dapat dikatakan bahwa masa remaja merupakan periode hidup yang paling sehat dalam siklus kehidupan manusia. Walaupun pertumbuhan fisik pada remaja tidak selalu disertai dengan kematangan kemampuan berpikir dan emosional.

Pada masa remaja juga terjadi proses pengenalan jati diri sehingga pada beberapa hal belum bisa menentukan sikap. Kegagalan dalam proses pengenalan diri ini bisa menimbulkan berbagai masalah yang rumit dan kompleks mulai dari masalah prestasi di sekolah, pergaulan, penampilan, menyukai lawan jenis dan lain sebagainya. Berbagai hal tersebut bisa membawa pengaruh terhadap perilaku dan status kesehatan remaja itu sendiri. Namun pada kenyataannya hanya sedikit remaja yang datang berobat ke fasilitas kesehatan dibandingkan kelompok usia lain (bayi, balita, atau lansia).

Penanganan masalah remaja membutuhkan keterlibatan multi disiplin ilmu, lintas program, lintas sektor dan masyarakat. Ada beberapa masalah kesehatan yang dialami dan mengancam masa depan remaja Indonesia pada saat ini. Empat masalah kesehatan yang paling sering dialami oleh remaja Indonesia antara lain kekurangan zat besi (anemia), kurang tinggi badan (stunting), kurang energi kronis (kurus), dan kegemukan (obesitas).

Di era media sosial seperti sekarang ini remaja rawan terpengaruh oleh perilaku yang tidak sehat, atau mendapatkan informasi kesehatan dan gizi yang tidak benar (hoax). Ditambah lagi akibat pergaulan dengan teman sebaya yang salah. Akibat informasi yang tidak tepat, remaja dapat mengikuti perilaku yang tidak sehat seperti mengikuti pola diet selebritis, mengonsumsi jajanan yang sedang hits namun tidak bergizi, atau kurang beraktifitas fisik (mager) karena terlalu sering bermain games atau memegang gadget.
Pola makan remaja yang tergambar dari data Global School Health Survey pada tahun 2015, antara lain: tidak selalu sarapan (65,2%), sebagian besar remaja kurang mengonsumsi serat sayur buah (93,6%), sering mengkonsumsi makanan berpenyedap (75,7%), dan kurang melakukan aktifitas fisik (42,5%). Apabila perilaku seperti ini berlangsung terus menerus dan menjadi kebiasaan pola makan tetap para remaja, maka dapat meningkatkan resiko terjadinya penyakit tidak menular baik pada saat remaja ataupun pada masa yang akan datang.

Untuk mencegah terjadinya penyakit tidak menular pada remaja, maka fasilitas pelayanan kesehatan menyediakan pelayanan kesehatan yang peduli dengan keberadaan remaja. Pelayanan kesehatan ini dimulai dengan dibentuknya Puskesmas Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) seperti yang dilaksanakan di Puskesmas Tajurhalang. Kegiatan ini diadakan di dalam gedung dan luar gedung puskesmas dengan melibatkan lintas program. Kegiatan di luar gedung dilakukan dengan membentuk posyandu remaja dan paguyuban remaja sebaya sadar sehat.

Dalam paguyuban remaja sebaya sadar sehat, remaja dididik dan dipahamkan bagaimana menjadi remaja yang sehat, bugar dan produktif. Selain itu mereka juga dapat sharing satu dengan yang lainnya mengenai diri dan kesehatannya. Remaja sebenarnya memiliki kemampuan untuk membuat pilihan, bagaimana pola makan dan berperilaku hidup yang sehat, serta bagaimana menjadi pribadi yang bermanfaat. Petugas kesehatan mempunyai peran untuk membimbing dan memantaunya. Dengan adanya paguyuban remaja sebaya sadar sehat diharapkan remaja dapat sehat, bugar dan produktif.                                                                                                                                          
Oleh : Niswatun Nafi’ah, SKM
Penyuluh Kesehatan Masyarakat Ahli Muda Puskesmas Tajurhalang

Sabtu, 30 Juni 2018

Hipertensi dan Pencegahannya


Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah peningkatan tekanan darah secara kronis dan menetap, dengan tekanan darah > 140/90 mmHg. Hipertensi sering disebut sebagai sillent killer. Hipertensi adalah salah satu faktor risiko untuk terjadinya kematian dan beberapa penyakit seperti stroke, serangan jantung, gagal jantung (jantung koroner), gagal ginjal, kebutaan, dan aneurisma arterial, dan merupakan penyebab utama gagal jantung kronis. Selain faktor genetika, usia, dan jenis kelamin.

Hipertensi seringkali terjadi tanpa gejala, sehingga penderita tidak merasa sakit. Sekitar 90% penderita hipertensi tidak diketahui penyebabnya, disebut sebagai hipertensi esensial atau hipertensi primer. Sekitar 5-10% penderita hipertensi berhubungan dengan penyakit ginjal, 1-2% berhubungan dengan kelainan hormonal atau pemakaian obat tertentu (misalnya pil KB) dan pada umumnya akibat gaya hidup yang tidak sehat : seperti diet yang tidak sehat (kurang buah dan sayuran, tinggi lemak jenuh, tinggi kolesterol, tinggi garam dan gula), kurang aktivitas fisik/olah raga, kegemukan (obesitas), alkohol, stress dan merokok.

Tanda-tanda awal gejala hipertensi yaitu sakit kepala, jantung berdebar-debar, mudah lelah, penglihatan kabur, wajah memerah, hidung dapat berdarah/mimisan, telinga berdenging, dunia terasa berputar/sempoyongan. Untuk menegakkan diagnosis hipertensi tekanan darah diukur minimal 2x selang 2 menit dan pemeriksaan darah kontra lateral. Tekanan darah tinggi ditegakkan bila tekanan darah ≥140/90 mmHg. Bila tekanan darah <160/100 mmHg perlu dilakukan pengukuran tekanan darah minimal dua kali dengan jarak 1 minggu.

Hipertensi dapat dikontrol dan dicegah sehingga tidak menimbulkan sesuatu hal yang fatal. Jika ada kesadaran dan mau mengontrol kondisi, resiko terjadinya hipertensi dapat berkurang 50 persen. Hipertensi dapat dicegah melalui beberapa hal, yaitu : melakukan pola hidup sehat dengan mengkonsumsi makanan yang kaya akan serat (sayur dan buah), membatasi konsumsi garam (per hari maksimal 1 sendok teh), garam mengandung natrium dan sodium. Garam dalam jumlah sedikit dibutuhkan untuk mengatur kandungan air dalam tubuh. Jika berlebihan, garam dapat menyebabkan hipertensi hingga stroke. Contoh makanan yang mengandung garam yaitu dalam 1 sendok makan kecap terdapat ¼ sendok teh garam dan dalam 1 bungkus mie instan mengandung sekitar ¾ sendok teh garam. Selain itu juga cara pencegahan yang lainnya yaitu dengan tidak mengkonsumsi alkohol dan makanan yang berlemak tinggi, mengurangi berat badan, istirahat yang cukup, olahraga yang teratur, mengendalikan stress, tidak merokok, dan lakukan pengecekan tekanan darah secara rutin.                                                                                                                                                       
Oleh : Niswatun Nafi’ah, SKM
Penyuluh Kesehatan Masyarakat Ahli Muda Puskesmas Tajurhalang

Sabtu, 26 Mei 2018

Lansia Sejahtera, Masyarakat Bahagia


Hari Lanjut Usia Nasional (HLUN) diperingati setiap tanggal 29 Mei. Kementerian Kesehatan RI dalam HLUN tahun 2018 mengangkat tema Lansia Sejahtera, Masyarakat Bahagia; dengan sub tema bidang kesehatan: Lansia Sehat Mandiri diwujudkan dari Keluarga Sehat. Melalui tema ini diharapkan bangkit kembali pesan-pesan kesehatan bahwa sehat itu dimulai dari keluarga, sehat harus dijaga dengan menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat, serta setiap keluarga berpartisipasi aktif dalam jaminan kesehatan nasional. Sehingga nantinya, akan terbangun keluarga yang sadar akan kesehatan dan terwujud Lansia yang sehat, mandiri dan produktif.

Sesuai dengan sub tema HLUN 2018 bidang kesehatan yakni ''Lansia Sehat Mandiri Diwujudkan dari Keluarga Sehat'', menandakan bahwa keluarga merupakan unsur penting bagi bangsa dan negara. Generasi yang berkualitas untuk meraih bonus demografi pada tahun 2010-2035 tidak mungkin terwujud, jika : saat janin di dalam kandungan asupan gizi ibu rendah, ketika
balita asupan gizi balita tidak seimbang, selama usia sekolah mengalami kesulitan dalam belajar dan berprestasi, pada usia produktif kesulitan mendapatkan karir yang optimal karena kualitas hidup rendah dan terkena penyakit tidak menular akibat gaya hidup tidak sehat, dan ketika memasuki usia tua (lansia) menderita penyakit degeneratif.

Berdasarkan hasil Susenas tahun 2016, jumlah lansia di Indonesia mencapai 22,4 juta jiwa atau 8,69% dari jumlah penduduk. Sementara menurut proyeksi BPS tahun 2015, pada tahun 2018 jumlah Lansia diperkirakan mencapai 9,3% atau 24,7 juta jiwa. Dengan jumlah Lansia yang semakin besar, menjadi tantangan bagi kita semua agar dapat mempersiapkan Lansia yang sehat dan mandiri sehingga nantinya tidak menjadi beban bagi
keluarga, masyarakat maupun negara, dan justru menjadi asset sumber daya manusia yang potensial.

Saat ini, Indonesia menghadapi masalah kesehatan triple burden, yaitu masih tingginya penyakit infeksi, meningkatnya penyakit
-penyakit tidak menular dan muncul kembali penyakit-penyakit yang seharusnya sudah teratasi. Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2013, penyakit terbanyak pada kelompok lansia adalah hipertensi (57,6%), selebihnya adalah arthritis, stroke dan beberapa penyakit lain.

Penanganan kasus penyakit pada lansia tidak mudah karena penyakit pada lansia umumnya merupakan penyakit degeneratif, kronis, dan multidiagnosis karena pada lansia terjadi penurunan fungsi organ tubuh. Penanganan penyakit pada kelompok lansia membutuhkan waktu dan biaya tinggi, yang akan menjadi beban bagi keluarga, masyarakat dan pemerintah termasuk bagi Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Oleh karena itu, pemeliharaan kesehatan Lansia harus lebih mengutamakan promotif dan preventif dengan dukungan pelayanan kuratif dan rehabilitatif yang berkualitas di fasilitas-fasilitas kesehatan.

Peringatan HLUN ke-23 ini merupakan momen
tum yang tepat untuk lebih menguatkan komitmen, meningkatkan semangat petugas kesehatan untuk lebih memberi makna pada masyarakat akan pentingnya kesehatan. Oleh karenanya, sejalan dengan sub tema HLUN bidang kesehatan tahun 2018, Menkes meminta perhatian beberapa hal: (1) Pembangunan kesehatan merupakan salah satu unsur penopang peningkatan Indeks Pembangunan Manusia, untuk itu orientasi pembangunan kesehatan harus lebih didorong pada aspek-aspek promotif dan preventif tanpa melupakan aspek kuratif rehabilitatif; (2) Pelaksanaan Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas) harus dimulai dari keluarga. Untuk mewujudkan Lansia sehat dan mandiri dapat dicapai melalui keluarga yang sehat; (3) Diperlukan kerjasama baik lintas program maupun lintas sektor, akademisi, kepala daerah, pelaku usaha, organisasi masyarakat, dalam membangun pemahaman publik akan pentingnya hidup sehat, serta menjalankan perilaku hidup bersih dan sehat, dan (4) Kita perlu lebih menggiatkan dalam penyiapan lintas generasi sesuai dengan tugas masing-masing sehingga terwujud lansia sehat dan mandiri melalui keluarga sehat.

Oleh : Niswatun Nafi’ah, SKM
Penyuluh Kesehatan Masyarakat Ahli Muda Puskesmas Tajurhalang

Sabtu, 28 April 2018

Bebas Kecacingan, Kenapa Tidak?


Kecacingan adalah infeksi yang disebabkan oleh cacing parasit, khususnya ditularkan oleh cacing yang hidup di tanah. Kecacingan merupakan salah satu masalah kesehatan yang seringkali diabaikan sehingga penanganannya terlambat. Diperkirakan sekitar 2 milyar penduduk di dunia mengalami kecacingan, 60-80% di antaranya menyerang anak usia sekolah. Kecacingan jika tidak ditangani dapat mempengaruhi kecerdasan anak.

Jenis cacing yang menjadi penyebab kecacingan yaitu antara lain cacing tambang (1,2 milyar penduduk), cacing gelang (800 juta penduduk), dan cacing cambuk (600 juta penduduk). Siklus Hidup Cacing dapat digambarkan sebagai berikut : telur cacing keluar dari perut manusia bersama feses/kotoran manusia, bila mencemari tanah dan sumber air maka setiap tetes air akan tercemar telur cacing, jika air tersebut dipakai menyirami tanaman/aspal jalan, telur itu akan naik ke darat dan menempel di butiran debu, telurnya sangat tahan banting, telur cacing tidak pecah meski dilindas ban mobil, atau sepeda motor, sambil menumpang debu telur cacing mencemari tumbuhan, makanan dan tempat yang sering dipegang tangan manusia , masuk ke tubuh telur menjadi larva dan menembus dinding usus, serta dalam darah, larva cacing menuju liver, jantung, paru-paru, dan kembali ke usus.

Seseorang yang menderita kecacingan akan mengalami beberapa gejala. Gejala-gejala yang muncul akibat kecacingan yaitu : gatal-gatal terutama di sekitar anus, nyeri di perut, kurang nafsu makan, anemia/kurang darah, batuk tidak sembuh-sembuh, penyumbatan saluran cerna, mudah mengantuk, berat badan rendah, perut buncit, dan lemah lesu karena kurang darah.

Penularan kecacingan biasanya terjadi karena termakan makanan atau minuman yang tercemar oleh telur cacing. Bayi dapat terinfeksi cacing melalui jari ibunya yang mengandung telur cacing. Sehingga pendapat yang beranggapan cacingan selalu berhubungan dengan higiene sanitasi sangatlah benar.  Cacing tambang dapat masuk melalui larva yang tertelan atau larva yang menembus kulit. Cacing kremi betina mengeluarkan telurnya di sekitar dubur terutama pada malam hari, penularan dapat terjadi dengan tertular telur yang jatuh di alas tempat tidur ataupun benda lain yang terkontaminasi. Cacing pita dapat masuk dalam tubuh manusia, dengan cara makan daging sapi/babi mentah atau tidak di masak dengan baik.

Selain hal-hal di atas, kecacingan menimbulkan beberapa kerugian. Kerugian yang timbul akibat kecacingan diantaranya : jumlah karbohidrat, protein, dan darah dalam tubuh berkurang, menghambat perkembangan fisik, menurunkan fungsi kecerdasan pada anak-anak, menurunkan produktivitas kerja. Akibat jangka panjang dari kecacingan adalah stunting. 30 persen masalah stunting itu adalah karena kecacingan, dan kasus stunting itu sudah sejak bayi dalam kandungan. Seorang anak dikatakan stunting jika dibandingkan dengan anak seusianya, tinggi badan anak tersebut jauh lebih pendek. Menurut WHO tercatat 7,8 juta dari 23 juta balita di dunia mengalami stunting. Dari 35,6 persen stunting di Indonesia tersebut, sebanyak 18,5 persen balita masuk dalam kategori sangat pendek dan 17,1 persen masuk ke kategori pendek. Menindaklanjuti fakta tersebut pemerintah menargetkan penurunan dari prevalensi stunting dari status awal 32,9 persen, turun menjadi 28 persen pada 2019 mendatang. Salah satu hal yang dilakukan adalah dengan pemberian obat cacing secara masal. Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor menetapkan Bulan April ini ada pemberian obat kecacingan untuk sasaran umur 2-12 tahun dan di bulan Oktober untuk semua umur yang terintegrasi dengan program pencegahan penyakit Filariasis.

Mengingat betapa ruginya anak-anak kita jika terkena kecacingan, alangkah baiknya kita melakukan pencegahan agar tidak terjadi kecacingan. Hal yang terpenting dalam menekan prevalensi penyakit cacingan tidak bisa hanya dengan pemberian obat cacing saja. Perlu kesadaran masyarakat untuk menerapkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) baik di rumah maupun di lingkungannya masing-masing. Pencegahan penyakit kecacingan dapat dilakukan dengan memutuskan rantai daur hidup cacing, dengan cara : BAB di jamban, menjaga kebersihan diri dan lingkungan, mandi teratur minimal 2 kali sehari, membiasakan diri untuk cuci tangan pakai sabun di beberapa titik kritis antara lain setelah BAB, sebelum makan, setelah memegang sesuatu, serta memotong kuku secara teratur agar tidak ada telur cacing yang bersarang dan membiasakan diri memakai alas kaki ketika keluar rumah.

Semoga dengan selalu mempraktekkan PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat) tersebut, kita dan anak-anak kita terhindar dari kecacingan dan berbagai macam penyakit lainnya. Jika perlu periksakan secara teratur anak-anak setiap 6 bulan sekali. Bebas kecacingan, kenapa tidak?


Oleh : Niswatun Nafi’ah, SKM
Penyuluh Kesehatan Masyarakat Ahli Muda Puskesmas Tajurhalang

Jumat, 23 Maret 2018

Pentingnya Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di Sekolah


UKS (Usaha Kesehatan Sekolah) adalah usaha untuk membina dan mengembangkan kebiasaan serta perilaku hidup sehat pada peserta didik usia sekolah yang dilakukan secara menyeluruh dan terpadu. Dalam Undang-undang nomor 36 Tahun 2009 pasal 79 tentang kesehatan, ditegaskan bahwa “Kesehatan Sekolah” diselenggarakan untuk meningkatkan kemampuan hidup sehat peserta didik dalam lingkungan hidup sehat sehingga peserta didik dapat belajar, tumbuh dan berkembang secara harmonis dan setinggi-tingginya sehingga diharapkan dapat menjadi sumber daya manusia yang berkualitas.

Titik penting pada pengembangan kesehatan, oleh Badan Kesehatan Dunia WHO disebut Health Promoting Schools atau Promosi Kesehatan Sekolah sehingga peserta didik mampu memiliki kesehatan untuk hidup, belajar, dan bekerja. Promosi Kesehatan Sekolah dilakukan melalui UKS. Sedangkan UKS sendiri mempunyai tujuan mengarah pada praktik perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) di sekolah. PHBS terdiri dari sekumpulan perilaku yang dipraktikkan oleh peserta didik, guru dan masyarakat lingkungan sekolah dasar atas dasar kesadaran sebagai hasil pembelajaran. Sehingga secara mandiri mampu mencegah penyakit, meningkatkan kesehatannya, serta berperan aktif dalam mewujudkan lingkungan sehat.

Munculnya berbagai penyakit yang sering menyerang anak usia sekolah (6-10 tahun), ternyata umumnya berkaitan dengan PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat). Oleh karena itu, penanaman nilai-nilai PHBS di sekolah merupakan kebutuhan mutlak dan dapat dilakukan melalui pendekatan UKS.

Sasaran pembinaan PHBS di Sekolah yaitu siswa, warga sekolah yakni Kepala sekolah, guru, karyawan sekolah, komite sekolah dan orang tua siswa serta masyarakat lingkungan sekolah, seperti penjaga kantin, satpam dan lain-lain.

Manfaat pembinaan PHBS di sekolah antara lain : terciptanya sekolah yang bersih dan sehat, sehingga siswa, guru dan masyarakat lingkungan sekolah terlindungi  dari  berbagai gangguan dan ancaman penyakit, meningkatnya semangat proses belajar mengajar yang berdampak pada prestasi belajar siswa, citra sekolah sebagai institusi pendidikan semakin meningkat sehingga mampu menarik minat orang tua, meningkatnya citra pemerintah daerah di bidang pendidikan, menjadi percontohan sekolah sehat bagi daerah lain.

Sosialisasi Penerapan PHBS di Sekolah meliputi : 1) sosialisasi penerapan PHBS di sekolah di lingkungan internal antara lain : penggunaan jamban sehat dan air bersih, pemberantasan sarang nyamuk (PSN), larangan merokok di sekolah dan Kawasan Tanpa Rokok di sekolah, dan membuang sampah di tempatnya, 2) sosialisasi tugas dan penanggungjawab PHBS di sekolah.

Penerapan PHBS di sekolah meliputi : menanamkan nilai-nilai untuk ber-PHBS kepada siswa sesuai kurikulum yang berlaku, menanamkan nilai-nilai untuk ber-PHBS kepada siswa yang dilakukan di luar jam pelajaran biasa, seperti:  kerja bakti dan lomba kebersihan kelas, aktivitas kader kesehatan sekolah/dokter kecil, pemeliharaan jamban sekolah, pemeriksaan jentik nyamuk di sekolah, demo/gerakan cuci tangan dan gosok gigi yang baik dan benar, pembudayaan olah raga yang teratur dan terukur, pemeriksaan rutin kebersihan kuku-rambut-telinga-gigi dan sebagainya, bimbingan hidup bersih dan sehat melalui konseling, kegiatan penyuluhan dan latihan ketrampilan dengan melibatkan peran aktif siswa, guru dan orang tua antara lain melalui penyuluhan kelompok, pemutaran kaset radio/film, penempatan, dan media poster, penyebaran leaflet dan membuat majalah dinding.

Kegiatan PHBS di sekolah meliputi : menggunakan air bersih, menggunakan jamban yang bersih dan sehat, membuang sampah pada tempatnya, cuci tangan dengan air mengalir dan memakai sabun, mengkonsumsi jajanan sehat, melakukan olahraga secara teratur, memberantas jentik nyamuk, tidak merokok di sekolah, menimbang berat badan dan mengukur tinggi badan minimal 6 bulan sekali, kebiasaan memotong dan membersihkan kuku, menggosok gigi minimal 2 kali sehari, memakai sepatu, pemanfaatan ruang UKS di sekolah, terdapat dokter kecil/kader kesehatan remaja, serta adanya Dana sehat untuk kegiatan UKS di  sekolah.

Peserta didik tidak hanya berorientasi pada head (pengetahuan), heart (sikap/nilai) dan hand (ketrampilan). Namun masih diperlukan faktor kesehatan (health). Dalam hal ini sekolah memiliki peran yang penting untuk menciptakan dan meningkatkan kesehatan peserta didik.

Oleh : Niswatun Nafi’ah, SKM
Penyuluh Kesehatan Masyarakat Muda Puskesmas Tajurhalang


Selasa, 27 Februari 2018

Pentingnya Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di Rumah



Amanat UU Kesehatan No. 23/1992 pasal 3 bahwa pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemampuan kemauan hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Sesuai dengan amanat undang-undang tersebut diharapkan sektor kesehatan mengalami pergeseran paradigma. Perubahan paradigma itu yaitu mengajak dan memotivasi masyarakat untuk mengubah pola pikir dan sudut pandang sakit menjadi sudut pandang sehat. Hal ini dikenal dengan istilah ”Paradigma Sehat”.

Dalam paradigma sehat, sektor kesehatan harus mau merubah pandangan dari yang tadinya kuratif rehabilitatif menjadi preventif dan promotif. Paradigma sehat mengajak masyarakat untuk mengedepankan preventif promotif dengan melakukan PHBS. PHBS adalah sekumpulan perilaku kesehatan yang dilakukan atas dasar kesadaran dari hasil pembelajaran yang menjadikan seseorang atau keluarga dapat menolong diri sendiri di bidang kesehatan dan mampu berperan aktif dalam mewujudkan kesehatan masyarakat.

PHBS mempuyai beberapa tujuan yang dibedakan menjadi tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum PHBS yaitu meningkatnya rumah tangga sehat di Kabupaten/Kota. Sedangkan tujuan khususnya yaitu antara lain meningkatnya pengetahuan, kemauan & kemampuan anggota rumah tangga untuk melakukan PHBS, serta anggota rumah tangga berperan  aktif dalam gerakan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di masyarakat.

Indikator-indikator kegiatan PHBS terbagi dalam beberapa kategori, antara lain indikator KIA dan gizi, indikator kesehatan lingkungan, indikator gaya hidup, dan indikator upaya kesehatan masyarakat. Indikator KIA dan Gizi meliputi pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan (bidan atau dokter), memeriksakan kehamilan minimal 4 kali selama masa kehamilan, memberikan ASI Eksklusif, menimbang balita, dan mengkonsumsi makanan dengan gizi seimbang. Indikator kesehatan lingkungan meliputi menggunakan air bersih, menggunakan jamban sehat, membuang sampah pada tempatnya, dan menggunakan lantai rumah kedap air. Indikator gaya hidup meliputi melakukan aktivitas fisik/berolahraga, tidak merokok, cuci tangan pakai sabun, menggosok gigi, dan tidak menyalahgunakan miras / narkoba. Indikator upaya kesehatan masyarakat meliputi kepesertaan dalam JPK (Jaminan Pemeliharaan Kesehatan), melakukan PSN (Pemberantasan Sarang Nyamuk).

Selain itu PBHS jika dilakukan secara rutin akan mendatangkan beberapa manfaat. Manfaat PHBS yaitu setiap anggota rumah tangga meningkat kesehatannya dan tidak mudah sakit, rumah tangga sehat dapat meningkatkan produktivitas kerja anggota rumah tangga, dengan meningkatnya kesehatan anggota rumah tangga maka biaya kesehatan dapat dialihkan untuk biaya investasi lain seperti pendidikan dan usaha lain guna meningkatkan kesejahteraan anggota rumah tangga, sebagai salah satu indikator keberhasilan pemerintah Kabupaten/Kota dalam pembangunan bidang kesehatan, meningkatkan citra pemerintah Kabupaten/Kota dalam bidang kesehatan, serta dapat menjadi percontohan rumah tangga sehat bagi daerah lain.  Oleh karena pentingnyaPHBS dalam kehidupan sehari-hari, mari kita budayakan hidup bersih dan sehat dalam kehidupan sehari-hari.

Oleh : Niswatun Nafi’ah, SKM

Penyuluh Kesehatan Masyarakat Muda Puskesmas Tajurhalang

Senin, 29 Januari 2018

Hilangkan Stigma! Kusta Bisa Disembuhkan

Salah satu penyakit menular yang masih menjadi momok di masyarakat adalah penyakit kusta. Selain itu, Kusta merupakan penyakit menular yang menjadi masalah nasional kesehatan masyarakat, dimana beberapa daerah di Indonesia prevalens rate masih tinggi dan permasalahan yang ditimbulkan sangat kompleks. Meskipun tergolong ke dalam penyakit menular, kusta merupakan penyakit yang tidak dengan mudah menular begitu saja, karena diperlukan kontak erat secara terus menerus dan dalam waktu yang lama dengan penderita. Penyakit kusta sebenarnya dapat disembuhkan tanpa cacat bila penderita ditemukan dan diobati secara dini.

Indonesia merupakan salah satu negara dengan beban penyakit kusta yang tinggi. Pada tahun 2013, Indonesia menempati urutan ketiga di dunia setelah India dan Brazil. Tahun 2013, Indonesia memiliki jumlah kasus kusta baru sebanyak 16.856 kasus dan jumlah kecacatan tingkat 2 di antara penderita baru sebanyak 9,86% (WHO, 2013).

Penyakit kusta bukan penyakit keturunan atau kutukan Tuhan. Penyakit Kusta adalah sebuah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae yang menyerang kulit, saraf tepi, jaringan dan organ tubuh lain (kecuali otak) dan menimbulkan kecacatan. Lesi pada kulit adalah tanda yang bisa diamati dari luar. Bila tidak ditangani, kusta dapat menyebabkan kerusakan pada kulit, saraf-saraf, anggota gerak, dan mata. Kelompok yang berisiko tinggi terkena kusta adalah yang tinggal di daerah endemik dengan kondisi yang buruk seperti tempat tidur yang tidak memadai, air yang tidak bersih, asupan gizi yang buruk, dan adanya penyertaan penyakit lain seperti HIV yang dapat menekan sistem imun.

Kenyataannya, penyakit kusta seringkali ditemukan terlambat dan sudah dalam keadaan cacat yang terlihat. Pada dasarnya, terdapat 2 tingkatan kecacatan penyakit kusta saat ditemukan, yaitu tingkat I dan II. Kecacatan tingkat I adalah cacat yang belum terlihat atau belum ada perubahan pada anatominya. Sementara kecacatan tingkat II adalah sudah terjadi perubahan yang nampak pada anatomi penderita kusta.

Kecacatan yang
terlihat pada tubuh penderita kusta seringkali tampak menyeramkan bagi sebagian besar masyarakat sehingga menyebabkan perasaan jijik, bahkan ada yang ketakutan secara berlebihan terhadap kusta atau dinamakan leprophobia. Meskipun penderita kusta telah menyelesaikan rangkaian pengobatannya, dinyatakan sembuh dan tidak menular, status predikat penyandang kusta tetap dilekatkan pada dirinya seumur hidup. Inilah yang seringkali menjadi dasar permasalahan psikologis para penyandang kusta. Rasa kecewa, takut, malu, tidak percaya diri, merasa tidak berguna, hingga kekhawatiran akan dikucilkan (self stigma). Hal ini diperkuat dengan opini masyarakat (stigma) yang menyebabkan penderita kusta dan keluarganya dijauhi bahkan dikucilkan oleh masyarakat.

Stigma dan diskriminasi kepada penderita Kusta seperti dipisahkan dari pasangan (diceraikan), dikeluarkan atau tidak diterima di pekerjaan, ditolak di sekolah, restoran, tempat ibadah, pelayanan kesehatan dan fasilitas umum lainnya kusta secara dini, pengobatan pada penderita, serta penanganan permasalahan medis yang dialami oleh penderita maupun orang yang pernah mengalami kusta. Stigma ini seringkali menghambat penemuan kasus kusta. Karena itu, dalam upaya menghilangkan stigma dan diskriminasi, dibutuhkan motivasi dan komitmen yang kuat baik dari penderita maupun masyarakat. Penderita diharapkan dapat mengubah pola pikirnya, sehingga dapat berdaya untuk menolong diri mereka sendiri. Selain itu, masyarakat juga diharapkan dapat mengubah pandangannya dan tidak mengucilkan penderita Kusta serta dapat membantu penderita maupun orang yang pernah mengalami kusta (OYPMK) agar tetap sehat dan mampu menjaga kesehatan secara mandiri.

Untuk menggugah kesadaran masyarakat untuk meningkatkan motivasi, mengubah pandangan dan menghilangkan stigma bagi penderita kusta dan OYPMK, maka setiap hari Minggu pada pekan terakhir di bulan Januari diperingati sebagai hari kusta sedunia atau world leprosy day. Untuk mengeliminasi penyakit kusta diperlukan sosialisasi terus menerus dan berkelanjutan agar masyarakat sadar kusta dengan memahami deteksi dini kusta dan berpartisipasi sebagai agen penanggulangan kusta di masyarakat. Tahun 2018, Kementerian Kesehatan mengangkat tema ”Perkuat Komitmen Politik dalam Penanggulangan Kusta dan Penghapusan Stigma', Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Republik Indonesia memiliki tekad untuk mengeliminasi penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae ini pada tahun 2019 di seluruh provinsi Indonesia.

Oleh : Niswatun Nafi’ah, SKM
Penyuluh Kesehatan Masyarakat Ahli Pertama UPT Puskesmas Tajurhalang

Pembinaan Pos UKK Jolie Jaya Snack Desa Tonjong

Pos UKK (Upaya Kesehatan Kerja) merupakan salah satu bentuk pemberdayaan masyarakat di sektor pekerja informal pada upaya promotif dan preve...